Bagi pebisnis industri tambang di Indonesia, berbisnis di negara ini dianggap susah-susah mudah. Hal tersebut yang dialami oleh (sebut saja) Armando, salah satu pemilik bisnis tambang di Maluku.
Ia menceritakan kehidupan bisnisnya kepada saya, tentu sebagai teman saya mendengarkan keluh kesahnya tersebut. Karena kebetulan kami sama-sama terjun di bidang bisnis, hanya saja saya di sektor poultry, sedangkan teman saya ini di sektor mining.
Keluh kesahnya sebenarnya hanya sekadar obrolan warung, namun ada poin menarik yang teman saya jelaskan. Ia menjelaskan kalau pemerintah—Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)—sukses bikin bingung pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP), khususnya pencabutan izin tersebut. Menurutnya, izin yang dibuat oleh kedua lembaga tersebut membuat puyeng dan dinilai tumpang tindih. Kondisi ini diperparah dengan minimnya sinergi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi/BKPM.
Mari kita telaah lebih dalam, menurut pasal 199 UU No. 3/2020 tentang perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan kalau IUP dan IUPK bisa dicabut oleh pemerintah jika pemegang izin nggak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP.
Serta, PP No. 96/2021 pasal 185 dikatakan bahwa sanksi administratif untuk pencabutan harus melewati beberapa tahapan, yakni pertama diberi peringatan tertulis. Kedua, penghentian sementara. Ketiga, dilanjutkan dengan pencabutan. Selain itu, perusahaan juga diberi denda.
Nah, yang menjadi kejanggalan di sini adalah pemerintah mengacu pada Keppres No. 1/2022 untuk pencabutan. Pasal 3 Keppres tersebut berbunyi Presiden memberikan rekomendasi kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM untuk melakukan pencabutan IUP.
Saya jadi makin bertanya-tanya, sebenarnya pencabutan ini ranah siapa? Siapa yang berhak sebenarnya untuk mencabut IUP tersebut? Saya tentu tak bisa menjawab pertanyaan dan kebingungan dari Armando tersebut, sebab jika saya mengamati lini masa pun tak menjawab, semuanya terkesan tumpang tindih.
Dari permasalahan ini, jiwa kepo saya berkobar. Sebenarnya, apakah tumpang tindih regulasi ini berdampak besar pada perusahaan atau negara? Oh, rupanya ada, tapi ini salah satu penemuan saya sebagai orang awam, ya.
Saya meminjam pernyataan dari APNI, lembaga tersebut berujar kalau keputusan pemerintah ini akan berdampak pada berkurangnya potensi penerimaan negara, khususnya penerimaan negara bukan pajak serta royalti sebanyak 10 persen. Kalau menurut laporan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, penerimaan pajak sektor pertambangan bahkan meningkat paling pesat pada semester I 2022 sebesar 286,8 persen. Wadaw, banyak juga, ya!
APNI juga sempat menyanyangkan regulasi yang dirilis pemerintah itu terkesan tumpang tindih. Apalagi pencabutan IUP baru-baru ini nggak melewati proses tahapan yang diatur PP 96/202. Kalau kata mereka, tumpang tindih ini menjadi pertanda kalau koordinasi ESDM dan BKPM nggak berjalan dengan baik.
Begini kutipan singkat dari APNI yang saya dapatkan dari tambang.co.id, “Kami bingung, kami sudah dapat SK pencabutan tapi dari kementerian lain masih memberikan surat peringatan, masih tercatat IUP di Kementerian ESDM. Kami mau lihat ke yang mana? Apakah ESDM dengan mengindahkan sanksi administrasi, atau SK pencabutan dari BKPM?”
Hmm, jika dipikir-pikir lagi, kalau saya punya bisnis pertambangan di Indonesia dan merasakan apa yang dikatakan APNI, sepertinya saya juga akan bingung seperti kawan saya, Armando. Harusnya mereka (perusahaan) sudah bisa berjalan maju untuk memberikan nilai tambah pada kekayaan alam Indonesia, bahkan berkontribusi untuk negara, tapi sayangnya izin di negara ini begitu berbelit.
Sebagai pebisnis, saya jadi mikir dua kali. Sebenarnya aman dan nyaman, tidak, ya, berbisnis di Indonesia? Barangkali ESDM dan BKPM membaca ini, semoga komunikasi dan koordinasinya semakin lancar, ya. Jika belum, saya bersedia berkontribus untuk negara pada bagian membelikan pulsa paketan agar komunikasi keduanya lancar kembali, demu nusa dan bangsa.