Hilirisasi di sektor tambang dan perindustrian yang menyerapnya kerap disanjung-sanjung sebagai kunci yang bisa mengakselerasi perekonomian Indonesia. Bahkan, pemerintah membuat kebijakan lainnya yaitu mendukung hilirisasi industri yaitu lewat larangan ekspor raw material. Bahan mentah harus diolah dahulu di dalam negeri menjadi barang setengah jadi atau jadi. Namun, serangkaian aksi Kementerian ESDM yang memayungi sektor pertambangan malah dinilai sebagai ajang mengejar cuan duluan sebelum start. Kok bisa?
Kalau kita sedikit flashback ke beberapa tahun belakangan, Kementerian ESDM sering kali dikeluhkan oleh para pelaku usaha terkait kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Tak hanya larangan ekspor yang bisa membuat pendapatan industri semakin sedikit karena harga domestik jomplang dengan harga global, pengusaha juga direpotkan dengan kebijakan-kebijakan terkait pajak.
Kebijakan Kontroversial Kementerian ESDM
Ya, lembaga yang dipimpin Arifin Tasrif tersebut beberapa kali melakukan pembicaraan kepada publik terkait wacana pengenaan pajak pada produk ini dan itu. Misalnya yang baru-baru ini masih hangat adalah pajak progresif ekspor nikel. Produk-produk turunan nikel yang kebanyakan baru berhasil diproduksi industri sekarang dengan hilirisasi akan dikenakan pajak ekspor progresif.
Menurut Menteri Arifin, alasan pemungutan pajak ekspor dikarenakan produk-produk turunan dari olahan nikel tersebut masih memiliki nilai tambah yang kecil sama seperti barang mentahnya. “Sekarang bisa diproses jadi dengan proses HPAL untuk bisa menghasilkan NHP itu yang harus kita upayakan, karena nilai tambah itu harus bergulir,” ungkapnya.
Tapi yang ia lupakan, industri nikel dalam negeri masih memiliki keterbatasan teknologi dan pengetahuan dalam membuat produk olahan nikel di atas kedua produk tersebut. Akhirnya, meski direncanakan akan ketok palu di tengah September, nyatanya pengenaan pajak ini ditunda. Wajar saja, banyak pelaku industri yang belum setuju dan meminta pemerintah untuk meninjau ulang.
Tak hanya nikel, lembaga tersebut dikabarkan sedang membidik sektor timah. Rencananya, di Juni 2022 lalu, tarif royalti timah akan dinaikkan dari flat 3 persen menjadi progresif sesuai dengan harga yang berlaku di pasar global.
Lagi-lagi sama seperti nikel, kebijakan kenaikan tarif royalti timah ternyata belum ketuk palu. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin mengatakan, “Hal ini sedang kami diskusikan, kami akumulasikan angka-angkanya sehingga negara akan mendapat penerimaan yang lebih banyak, dan badan usaha mendapat penerimaan yang berkurang, tapi tidak terlalu banyak berkurangnya,” tuturnya.
Sektor batu bara juga sama huru haranya dengan sektor mineral. Larangan ekspor (LE) batu bara sempat buat heboh di 1 Januari 2022 lalu, meski akhirnya LE tersebut dicabut. Namun pengusaha batu bara kembali dipusingkan dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) di mana mereka wajib memasok sejumlah batu bara ke dalam negeri dan dihargai lebih rendah dari harga global!
Pemerintah pun berjanji akan membentuk BLU pemungutan iuran batu bara agar harga domestik dan global bisa setara, namun kembali Pemangku Lembaga menjelaskan bahwa pihaknya saat ini masih melakukan “proses harmonisasi” dari pembentukan BLU batu bara ini.
Nggak Hanya Sektor SDA, Pajak Karbon hingga Kompor Listrik Juga Kontroversial
Tak hanya pajak di sektor SDA. Pajak karbon juga sedang diinisiasi lembaga tersebut. Singkatnya, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Tentu, penetapan pajak ini akan banyak berimbas ke para pelaku industri yang menggunakan bahan bakar minyak bumi, gas alam dan batu bara.
Lembaga tersebut beralasan, pajak karbon menjadi bagian dari upaya menekan emisi karbon. Tapi yang jadi masalah, meski industri hijau sedang digalakkan di Indonesia, realisasi industri yang telah memperoleh sertifikasi industri hijau hingga tahun 2021 baru mencapai 0,15 persen dari 29.000 jumlah industri skala menengah dan besar yang ada.
Salah satu aksi yang dinilai masyarakat menjadi “ajang mencari celah cuan” lainnya adalah pengadaan kompor listrik untuk masyarakat, yang akhirnya dibatalkan programnya. Pasalnya, penggunaan kompor listrik berdampak pada tarif listrik rumah tangga yang akan naik. Dan, ini akan menguntungkan Lembaga tersebut bersama salah satu instansi penyelenggara karena baru saja menentukan tarif EBT terbaru lewat Peraturan tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Dari ragam kebijakan yang dikeluarkan lembaga tersebut, semuanya sama-sama belum terlaksana alias ditunda hingga dibatalkan. Diduga, hal ini bisa saja terjadi karena belum adanya road map yang jelas dan lebih mementingkan hitung-menghitung dari kebijakan pemungutan pajak! Padahal jika ada road map yang jelas dan transparan, masyarakat bisa memberikan saran apa-apa saja yang perlu dipungut pajak dan apa yang bisa diperbaiki.
Mengapa sebelum disosialisasikan kepublik, Kementerian ESDM tak menyiapkan secara komplit A-Z terlebih dahulu? Bukannya malah gemar berubah pikiran di tengah jalan atau terkesan plin-plan. Wajar jika masyarakat berpikir Kementerian ESDM bahwa ada niat mengejar cuan dari aksi-aksi yang disebut sebagai upaya mengakselerasi perekonomian. Tapi benaran, deh, sebenarnya, Kementerian ESDM serius membenahi sektor energi dan sumber daya mineral di Tanah Air atau ada maksud lain, sih?