Cita-cita Indonesia untuk menjadi pemain utama industri electric vehicle (EV) sebenarnya sudah di depan mata. Pada tahun 2020, melalui Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, pemerintah Indonesia menjadikan alat transportasi hingga ekosistem EV sebagai prioritas.
“Indonesia telah menetapkan roadmap jalan pengembangan EV melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 27/2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV, dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal,” jelas Menperin, Agus Gumiwang Kartasasmita, dikutip dari laman resmi Kemenperin.
Selain itu, Indonesia bahkan sudah berupaya melalui penciptaan ekosistem EV yang terintegrasi. Mengapa pada akhirnya pemerintah gencar untuk menjadi pemain utama di industri baterai listrik? Sebab, Indonesia merupakan ‘surga’ bahan baku baterai yang terdiri dari nikel, kobalt, ferronickel, endapan hidroksida, dan lain-lain.
“Dengan demikian, Indonesia mampu mendukung rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, manufaktur EV, hingga daur ulang EV,” imbuhnya.
Salah satu pemain besar di industri EV Indonesia adalah Tsingshan yang berada di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Dikutip dari laman Bloomberg, Tsingshan bahkan sudah teken kerja sama dengan perusahaan baja dan nikel asal Tiongkok pada September 2021 lalu. Perusahaan tersebut adalah Shenzhen Chengxin Lithium Group Co Ltd.
Kedua perusahaan ini menyepakati untuk membangun pabrik lithium di Sulawesi Tengah, Indonesia. Diperkirakan, pabrik tersebut memiliki nilai US$350 juta atau hampir Rp5 triliun. Fokus dari produksi pabrik ini nantinya berfokus pada pasar kendaraan listrik (EV), khususnya memproduksi bahan kimia lithium.
Selain itu, IMIP juga memiliki investor besar Tiongkok lainnya, termasuk pabrik nikel dan kobalt yang merupakan bahan baku baterai EV. Pabrik tersebut bahkan memproyeksikan dapat memproduksi 50 ribu ton per tahun lithium hidroksida dan 10 ribu ton per tahun lithium karbonat.
Tapi perlu diketahui, hal tersebut tidak bisa terjadi jika suatu saat investor besar Tiongkok itu hengkang dari Indonesia. Selain memengaruhi sektor ekonomi Indonesia, mimpi Indonesia untuk menjadi supply chain ekosistem EV tak akan bisa terwujud.
Dalam laman Bloomberg dilaporkan bahwa Tsingshan Holding Group Co. bahkan akan segera melego aset bisnis stainless steel-nya di Indonesia kepada Baowu Steel Group Corp, perusahaan baja nirkarat terbesar milik pemerintah Tiongkok.
Xiang Guangda, selaku petinggi Tsingshan menjelaskan alasan dibalik penjualan aset tersebut. Dikutip Bloomberg, ia memaparkan bahwa dirinya sudah memikirkan masa depan perusahaannya tersebut jikalau dalam waktu singkat menghadapi kerugian miliar dolar. Selain itu, kondisi keuangan Tsingshan juga sempat goyah karena kasus margin call di LME.
Perlu diingat, LME bukanlah masalah utama bagi investor, namun carut marutnya regulasi, tak adanya jaminan investasi jangka panjang, dan ketidakkonsistenan dari kebijakan di industri pertambangan Indonesia dinilai membuat investor tak nyaman. Hal ini bisa saja menimbulkan kepergian dari pabrik besar tersebut.
Jika memang mereka pergi dari Indonesia, lalu bagaimana nasib cita-cita dan mimpi dari Indonesia? Iya, mimpi negara ini untuk menjadi menjadi supply chain bagi industri EV dunia. Bukankah hal tersebut menjadi omong kosong belaka jika nantinya Indonesia tak kunjung mewujudkannya? Hanya gembar-gembor mimpi di siang bolong kah?
Sepertinya pemerintah harus segera bangkit dari ‘mimpi’ dan segera beraksi. Mengingat Indonesia sedang berlari cepat untuk menjadi negara maju serta pemain utama ekosistem EV, sudah sepatutnya memperbanyak aksi untuk menuju cita-cita tersebut, kan?